Gempa bumi (bahasa Inggris: Earthquake) adalah fenomena guncangan yang terjadi pada permukaan bumi. Terdapat beberapa jenis gempa bumi [1]berdasarkan penyebabnya, antara lain adalah gempa bumi tektonik, yang diakibatkan oleh pelepasan energi yang terakumulasi di antara dua atau lebih lempeng bumi yang berdempetan (yang masing-masing selalu bergerak hingga 10 cm per tahunnya); gempa bumi vulkanik, yang diakibatkan oleh aktivitas gunung berapi; gempa bumi runtuhan, yang diakibatkan oleh runtuhan gua atau tambang bawah tanah; dan gempa bumi ledakan yang diakibatkan oleh ledakan yang besar seperti dari bom nuklir.
Gempa bumi memiliki intensitas yang beragam, mulai dari yang sangat lemah sehingga tidak dapat dirasakan, sampai gempa yang cukup kuat yang dapat melontarkan benda dan manusia ke udara, merusak infrastruktur penting, dan menghancurkan satu kota. Gempa Bumi diukur dengan menggunakan alat Seismometer, dan Moment magnitudo adalah skala yang paling umum digunakan.
Dalam pengertian yang paling umum, kata gempa bumi digunakan untuk menggambarkan peristiwa seismik apa pun, baik yang terjadi secara alami maupun yang disebabkan oleh manusia, yang menghasilkan gelombang seismik. Titik awal terjadinya gempa bumi disebut hiposentrum atau fokus. Episentrum adalah titik di permukaan tanah yang berada tepat di atas hiposentrum. Di permukaan bumi, gempa bumi ditunjukkan dengan guncangan dan pergerakan atau gangguan pada tanah. Ketika pusat gempa bumi besar terletak di lepas pantai, dasar laut dapat bergeser cukup jauh sehingga menyebabkan tsunami. Gempa bumi juga dapat memicu tanah longsor.
Aktivitas seismik di suatu daerah adalah frekuensi, jenis, dan ukuran gempa bumi yang dialami dalam kurun waktu tertentu. Seismisitas di lokasi tertentu di Bumi adalah tingkat rata-rata pelepasan energi seismik per satuan volume. Kata tremor digunakan untuk gemuruh seismik non-gempa.
Jenis Gempa Bumi[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan Penyebab[sunting | sunting sumber]
- Gempa Bumi Tektonik
Gempa bumi tektonik terjadi di mana saja di bumi di tempat yang terdapat energi tekanan elastis yang terakumulasi dengan cukup untuk mendorong perambatan fraktur di sepanjang bidang patahan. Permukaan bumi terdiri dari lempeng-lempeng yang berdekatan antara satu dengan yang lain. Lempeng-lempeng ini selalu mengalami pergerakan yang per tahunnya bisa mencapai 10 cm.[2] Sisi-sisinya hanya dapat bergerak saling melewati satu sama lain secara mulus dan tanpa disertai getaran (aseismik) jika tidak adanya ketidakteraturan atau asperitas di sepanjang permukaan patahan yang meningkatkan hambatan gesekan. Sebagian besar permukaan lempeng memiliki asperitas, yang menyebabkan bentuk perilaku pergesekan yang rapat. Saat patahan terkunci, gerakan relatif yang terus berlangsung di antara lempeng-lempeng akan meningkatkan tekanan dan, oleh karenanya, menyebabkan terakumulasinya energi tegangan di dalam volume di sekitar permukaan patahan. Hal ini terus berlanjut hingga tegangan antara dua atau lebih lempeng yang terjadi mencapai tingkat yang cukup untuk membobol asperitas, yang kemudian menyebabkan terjadinya pergeseran mendadak pada bagian patahan yang terkunci dan melepaskan energi yang terakumulasi.[3] Energi ini dilepaskan sebagai kombinasi gelombang seismik tekanan elastis yang menjalar,[4] pemanasan gesekan pada bidang patahan, dan retakan pada batuan, yang kemudian menyebabkan gempa bumi. Proses akumulasi tekanan[5] dan tegangan secara bertahap yang diselingi oleh guncangan gempa bumi yang terjadi secara tiba-tiba ini dijabarkan pada teori elastic-rebound. Diestimasikan bahwa dari total energi gempa bumi, hanya 10 persen atau kurang yang dipancarkan sebagai energi seismik. Sebagian besar energi dari gempa bumi terpakai untuk menggerakkan perkembangan rekahan gempa atau terkonversi menjadi panas yang dihasilkan oleh gesekan. Karenanya, gempa bumi menurunkan energi potensial elastis yang tersimpan di bumi dan meningkatkan suhu bumi, meskipun perubahan ini dapat dikesampingkan jika dibandingkan dengan aliran panas konduktif dan konvektif yang keluar dari perut bumi.[6]
- Gempa Bumi Vulkanik (Letusan Gunung Api)
Gempa Bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus.
Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan terjadinya gempa bumi. Gempa Bumi tersebut hanya terasa di sekitar gunung api tersebut
- Gempa Bumi Runtuhan
Gempa Bumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada daerah pertambangan, Gempa Bumi ini jarang terjadi dan bersifat lokal.
- Gempa Bumi Ledakan
Gempa bumi seperti ini dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai jenis ledakan yang besar, salah satunya adalah bom nuklir.
Berdasarkan kedalaman[sunting | sunting sumber]
- Gempa bumi dalam
Gempa bumi dalam adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada lebih dari 300 km di bawah permukaan bumi (di dalam kerak bumi). Gempa bumi dalam pada umumnya tidak terlalu berbahaya.
- Gempa bumi menengah
Gempa bumi menengah adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada antara 60 km sampai 300 km di bawah permukaan bumi.gempa bumi menengah pada umumnya menimbulkan kerusakan ringan dan getarannya lebih terasa.
- Gempa bumi dangkal
Gempa bumi dangkal adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada kurang dari 60 km dari permukaan bumi. Gempa bumi ini biasanya menimbulkan kerusakan yang besar.
Berdasarkan gelombang/getaran gempa[sunting | sunting sumber]
- Gelombang Primer
Gelombang primer (gelombang lungituudinal) adalah gelombang atau getaran yang merambat di tubuh bumi dengan kecepatan antara 7–14 km/detik. Getaran ini berasal dari hiposentrum.
- Gelombang Sekunder
Gelombang sekunder (gelombang transversal) adalah gelombang atau getaran yang merambat, seperti gelombang primer dengan kecepatan yang sudah berkurang,yakni 4–7 km/detik. Gelombang sekunder tidak dapat merambat melalui lapisan cair.
Penyebab Terjadinya Gempa Bumi[sunting | sunting sumber]
Gempa Bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang disebabkan lempengan yang bergerak ke satu arah atau bisa lebih. Semakin lama itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan di mana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa Bumi akan terjadi.
Pergeseran lempeng bumi dapat mengakibatkan gempa bumi karena dalam peristiwa tersebut disertai dengan pelepasan sejumlah energi yang besar.
Selain pergeseran lempeng Bumi, gerak lempeng Bumi yang saling menjauhi satu sama lain juga dapat mengakibatkan gempa bumi.
Hal tersebut dikarenakan saat dua lempeng bumi bergerak saling menjauh, akan terbentuk lempeng baru di antara keduanya.
Lempeng baru yang terbentuk memiliki berat jenis yang jauh lebih kecil dari berat jenis lempeng yang lama. Lempeng yang baru terbentuk tersebut akan mendapatkan tekanan yang besar dari dua lempeng lama sehingga akan bergerak ke bawah dan menimbulkan pelepasan energi yang juga besar.
Terakhir adalah gerak lempeng yang saling bertumbukan juga dapat mengakibatkan gempa bumi. Pergerakan dua lempeng yang saling mendekat juga berdampak pada terbentuknya gunung.
Seperti yang terjadi pada gunung Everest yang terus tumbuh tingkat gerak lempeng saling bertumpuk. Ilmu Pengetahuan Alam/Kementerian Pendidikan dan Gempa Bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan-lempengan tersebut.
Gempa Bumi yang paling parah biasanya atasan lempengan kompresional dan translasional. Gempa Bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit. Beberapa gempa bumi juga dapat terjadi dalam gunung berapi.
Frekuensi gempa bumi[sunting | sunting sumber]
Diperkirakan sekitar 500.000 gempa bumi terjadi setiap tahunnya, dan dapat dideteksi dengan instrumentasi saat ini. Sekitar 100.000 gempa bumi di antaranya dapat dirasakan. Gempa bumi kecil hampir terus-menerus terjadi di seluruh wilayah didunia seperti di California dan Alaska, serta di El Salvador, Meksiko, Guatemala, Chili, Peru, Indonesia, Filipina, Iran, Pakistan, Kepualauan Azores di Portugal, Turki, Selandia Baru, Yunani, Italia, India, Nepal, dan Jepang.[7]
Gempa bumi berkekuatan 4.0–4.5 magnitudo terjadi setiap tahun, sementara gempa bumi berkekuatan 5.0–5.9 terjadi setiap 200 kali dalam setahun, gempa bumi berkekuatan 6.0–6.9 terjadi 100 kali dalam setahun, gempa bumi berkekuatan 7.0–7.9 terjadi setiap 15 kali dalam setahun, gempa bumi berkekuatan 8.0–8.9 terjadi sekali atau duakali dalam setahun sementara gempa bumi megathrust berkekuatan 9.0+ terjadi sekali dalam 10 hingga 50 tahun.[8]
Sebagian besar gempa bumi di dunia 90%, terjadi di zona sepanjang 40.000 kilometer (25.000 mil), yang dikenal sebagai Cincin Api Pasifik. Gempa besar juga cenderung terjadi di sepanjang batas lempeng lainnya, seperti di sepanjang Pegunungan Himalaya yang dikenal sebagai Zona sabuk alpide, zona seisimik paling aktif kedua setelah Cincin api di Pasifik.[9]
Kota-kota besar seperti Mexico City, Tokyo, Jakarta, Manila, Los Angeles, San Francisco, Roma, Istanbul, Delhi dan Teheran memiliki resiko gempa bumi yang sangat tinggi, dengan kerusakan dan jumlah korban yang tak terbatas. Beberapa seismolog memperingatkan bahwa satu gempa bumi saja dapat merenggut nyawa sekitar tiga juta orang, jika terjadi di wilayah kota dengan padat penduduk.[10]
Dampak gempa bumi[sunting | sunting sumber]
Guncangan dan pergerakan tanah[sunting | sunting sumber]
Pergerakan dan pecahnya tanah merupakan dampak utama dari gempa bumi di permukaan bumi, akibat gesekan lempeng tektonik yang menyebabkan kerusakan bangunan atau struktur kaku yang terletak di daerah yang terkena gempa. Kerusakan bangunan tergantung pada: a) intensitas pergerakan; b) jarak antara struktur dan pusat gempa; c) kondisi geologi dan geomorfologi yang memungkinkan perambatan gelombang lebih baik.
likuefaksi[sunting | sunting sumber]
Likuefaksi atau Pencairan tanah terjadi ketika, karena goncangan, material butiran jenuh air (seperti pasir) untuk sementara kehilangan kekuatannya dan berubah dari padat menjadi cair. Likuifaksi tanah dapat menyebabkan struktur kaku, seperti bangunan dan jembatan, miring atau tenggelam ke dalam endapan cair. Misalnya, pada gempa Alaska tahun 1964, pencairan tanah menyebabkan banyak bangunan tenggelam ke dalam tanah, akhirnya runtuh dengan sendirinya.[11]
Longsor[sunting | sunting sumber]
Gempa bumi juga dapat menghasilkan ketidakstabilan lereng yang menyebabkan tanah longsor.
Kebakaran[sunting | sunting sumber]
Gempa bumi juga dapat menyebabkan kebakaran dengan merusak saluran listrik atau saluran pipa gas. Misalnya, pada gempa bumi San Francisco 1906 lebih banyak kematian yang disebabkan oleh api daripada gempa itu sendiri.[12]
Tsunami[sunting | sunting sumber]
Tsunami adalah gelombang laut dengan panjang gelombang dan periode panjang yang dihasilkan oleh pergerakan air dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau tiba-tiba—termasuk saat terjadi gempa bumi di bawah laut. Di lautan terbuka, jarak antara puncak gelombang dapat melebihi 100 kilometer (62 mil), dan periode gelombang dapat bervariasi dari lima menit hingga satu jam. Tsunami semacam itu bergerak dengan kecepatan 600–800 kilometer per jam (373–497 mil per jam), bergantung pada kedalaman air. Gelombang besar yang dihasilkan oleh gempa bumi atau tanah longsor bawah laut dapat menyerbu daerah pesisir terdekat dalam hitungan menit. Tsunami juga dapat menempuh jarak ribuan kilometer melintasi lautan terbuka dan mendatangkan kehancuran di pantai seberang beberapa jam setelah gempa bumi yang menimbulkannya.
Biasanya, gempa subduksi di bawah magnitudo 7,5 tidak menyebabkan tsunami, meskipun beberapa kejadiannya telah tercatat. Sebagian besar tsunami yang merusak disebabkan oleh gempa bumi berkekuatan 7,5 atau lebih.
Banjir[sunting | sunting sumber]
Banjir mungkin efek sekunder dari gempa bumi jika bendungan rusak. Gempa bumi dapat menyebabkan tanah longsor membendung sungai, runtuh dan menyebabkan banjir.
Prediksi[sunting | sunting sumber]
Prediksi gempa adalah cabang ilmu seismologi yang berkaitan dengan spesifikasi waktu, lokasi, dan berapa besarnya gempa bumi di masa depan. Banyak metode yang telah dikembangkan untuk memprediksi kapan gempa bumi akan terjadi, dalam waktu, dan tempat yang ditentukan. Meskipun banyak upaya yang dilakukan, hingga saat ini gempa bumi belum dapat diprediksi pada hari atau bulan tertentu.
Pada tahun 1970-an, para ilmuwan optimis bahwa metode untuk memprediksi gempa bumi akan segera ditemukan, tetapi pada tahun 1990-an kegagalan terus berlanjut, dan membuat banyak pihak mempertanyakan apakah hal semacam itu bisa dilakukan. Sebagian besar ilmuwan pesimis dan berpendapat bahwa, memprediksi gempa bumi pada dasarnya adalah hal mustahil untuk dilakukan.
Gempa bumi Haicheng 1975 diklaim salah satu gempa bumi yang berhasil diprediksi oleh seismologi, sehingga angka korban kematian berhasil ditekan, sebagian besar kota telah dievakuasi sebelum gempa, dan hanya sedikit korban yang meninggal akibat runtuhnya bangunan.
Zona Gempa[sunting | sunting sumber]
terdapat dua zona gempa besar, keduanya bertempat di pertemuan antara dua lempeng tektonik. Zona pertama melewati Asia pada bagian selatan dan terus ke arah Mediterania sampai ke Afrika Timur. Zona kedua, yang juga disebut cincin api/ring of fire, terletak di sekitar Samudera Pasifik. Melintasi Amerika serikat. Sebagian besar wilayah San Fransisco pada tahun 1906, juga hancur akibat gempa yang melanda pada zona tersebut. bahkan negara Indonesia juga termasuk dalam zona kedua yang terkena dampak gempanya.[13]
Gempa bumi terkuat berdasarkan magnitudo[sunting | sunting sumber]
Abad | Jumlah magnitudo ≥8.5 |
---|---|
1501–1600 | 2 |
1601–1700 | 5 |
1701–1800 | 9 |
1801–1900 | 13 |
1901–2000 | 11 |
2001–sekarang | 5 |
Total | 45 |
Catatan sejarah diketahui tidak lengkap. Gempa bumi yang terjadi di daerah terpencil sebelum munculnya instrumentasi modern pada awal hingga pertengahan 1900-an tidak dilaporkan dengan baik, dan lokasi serta besaran pasti dari peristiwa semacam itu seringkali tidak diketahui. Oleh karena itu, peningkatan nyata dalam frekuensi gempa besar selama beberapa abad terakhir tidak mungkin akurat, dengan interpretasi yang lebih baik bahwa, jika daftarnya lebih lengkap, maka rata-rata selusin atau lebih per abad.